Cherolander The Psychogenius

3/18/2008

Kisah antara Cinta Dan Waktu

Posted in Stories at 10:02 am by izzhi

Forward from izzhi blog

Alkisah di sebuah pulau kecil tinggallah berbagai macam benda abstrak, ada cinta, ada gembira, ada kesedihan, kekayaan, dan lain sebagainya. Mereka hidup berdampingan dengan baik.Namun suatu ketika, badai besar datang dan menghempas pulau kecil itu. Air laut tiba-tiba naik dan akan menenggelamkan pulau kecil itu.Semua penghuni pulau cepat2 berusaha menyelamatkan diri. Cinta sangat kebingungan, sebab ia tak dapat berenang dan tidak mempunyai perahu. Ia berdiri di tepi pantai dan mencoba mencari pertolongan.Sementara itu air makin naik dan membasahi kaki cinta. Tak lama kemudian cinta melihat kekayaan sedang mengayuh perahu.Kekayaan, kekayaan, tolong aku ! teriak cinta. Aduh, maaf cinta, kata kekayaan Perahuku telah penuh dengan harta bendaku. Aku tak dapat membawamu serta, karena nanti perahuku tenggelam. Lagipula tak ada lagi tempat bagimu di perahu ini. Lalu kekayaan cepat2 mengayuh perahunya pergi.Cinta sedih sekali karena ditinggalkan begitu saja oleh kekayaan. Tak berapa lama kemudian lewatlah kegembiraan dengan perahunya.Kegembiraan, tolong aku ! teriak cinta. Namun kegembiraan terlalu senang karena berhasil menemukan perahu, sehingga ia tidak mendengar teriakan cinta. Air makin tinggi membasahi cinta sampai ke pinggang, dan cinta panik.Bersamaan dengan itu lewatlah kecantikan. Kecantikan, bawalah aku bersamamu, kata cinta. Wah cinta, kamu basah dan kotor. Aku tak bisa membawamu ikut. Nanti kamu mengotori perahuku yang indah ini, kata kecantikan. Cinta sedih sekali mendengarnya.Saat itu juga lewat kesedihan. Oh kesedihan, bawalah aku bersamamu, kata cinta. Maaf cinta, aku sedang sedih dan aku ingin sendirian saja . jawab kesedihan sambil terus mengayuh perahunya. Cinta putus asa. Ia merasakan air makin naik dan akan menenggelamkannya. Pada saat keadaan kritis itulah tiba2 terdengar suara..Cinta, mari cepat naik ke perahuku !. Cinta menoleh dan melihat seorang tua dengan perahunya. Cepat2 cinta naik ke perahu itu, tepat sebelum air menenggelamkannya. Di pulau terdekat orang itu menurunkan cinta, dan segera pergi lagi. Pada saat itulah cinta sadar bahwa ia tidak tahu sama sekali siapa orang tua yang telah menyelamatkannya. Cinta segera menanyakannya kepada penduduk di pulau itu. Oh orang tua tadi ? Dia adalah waktu, jawab para penduduk. Tapi mengapa ia menyelamatkan aku, bukankah dia tidak mengenal aku, dan aku tidak mengenal dia. Bahkan teman2ku yang mengenal akupun tidak mau menyelamatkan aku, tanya si cinta dengan keheranan.

Sebab, kata orang itu

HANYA WAKTULAH YANG TAHU

BERAPA NILAI SESUNGGUHNYA DARI SEBUAH CINTA

Renungan Sufi

Bayazid Al-Bustami

"Tlah kutanamkan cinta dalam jiwaku dan takkan luruh sampai hari akhir
kelak. Engkau tlah melukai jiwaku ketika Engkau menghampiriku. Hasratku
berkembang, cintaku merekah. Dia tuangkan air untuk kuteguk. Dia telah
memacu jiwaku dengan secangkir cinta. Yang telah mengisi samudra
persahabatan." (Bayazid Al-Bustami)

Tokoh-tokoh sufi besar telah banyak lahir di sepanjang sejarah Islam.
Dengan pemahaman mereka tentang agama dan Tuhannya, kemudian mereka
meletakkan dasar ajarannya. Menjadi panutan banyak pengikutnya hingga
melintas batas tempat dan waktu. Salah satu sufi besar yang dikenal dalam
khazanah Islam adalah Abu Yazid Taifur bin Isa bin Surusyan al-Bustami
atau karib dipanggil Bayazid Al-Bustami. Ia lahir pada 805 M, di Bastam,
sebuah desa di Iran bagian Utara.

Ia berasal dari keluarga yang terhormat dan terpelajar. Ayahnya, Isa bin
Surusyan, merupakan pemuka masyarakat di Bastam sedangkan ibunya dikenal
sebagai orang yang zuhud. Bayazid sangat patuh terhadap ibunya. Sedangkan
kakeknya adalah pemeluk Majusi yang kemudian berislam. Tak ayal jika
kondisi keluarganya yang terpelajar membuatnya terdorong untuk belajar,
memahami serta melaksanakan ajaran agamanya. Ia pun mencontoh laku
spiritual yang dijalani ibunya dengan hidup zuhud.

Bahkan bakti kepada ibunya telah memberikannya pula pada pengalaman
spiritual yang mengesankan. Dalam Tadhkirat al-Awliya yang ditulis Sheikh
Fariddedin Attar, dikisahkan bahwa suatu malam ibunya terbangun dan
menginginkan segelas air. Dirinya kemudian bergegas ingin membawakan
segelas air yang diinginkan ibunya tersebut. Sayang, tak setetes air pun
yang ia temukan. Dalam malam yang gelap dan dingin Bayazid kemudian keluar
rumah mencari sumber air. Ia pun mendapatkannya.

Namun ibunya telah tertidur kembali, dan Bayazid menunggu di samping
tempat tidur ibunya. Menjelang fajar, ibunya terbangun dan mendapatkan
segelas air dari Bayazid. Kemudian Bayazid pun menceritakan bagaimana ia
mendapatkan air tersebut. Ibunya sambil meneguk air dalam gelas lantas
mendoakan dirinya. Betapa ia merasakan kebahagiaan didoakan ibu yang ia
sayangi. Dalam mempelajari ilmu, kondisi lingkungan keluarganya rupanya
memberikan pengaruh yang sangat baik.

Tak hanya di kota kelahirannya, ia bahkan pergi menuju kota di luar Iran
untuk memenuhi dahaga akan ilmu. Tak heran jika ia memiliki ratusan guru
dan mendapatkan beragam ilmu dari gurunya itu. Pada masanya, ia pun kerap
kritis dengan perilaku agama yang dilaksanakan masyarakat. Ia menganggap
bahwa perilaku keagamaan mereka hanya menekankan ritual keagamaan. Tak
heran jika Bayazid merasa bahwa aplikasi keagamaan yang ditunaikan oleh
orang-orang di zamannya dirasakan sebagai hal yang superficial dan
hipokrit.

Karena semuanya hanya ditujukan untuk keselamatan individual di dunia dan
di akhirat kelak, bagi Bayazid, perilaku keagamaan yaang konvensional
seperti itu hanya untuk memenuhi kepentingan sendiri dan ego. Padahal
menurutnya memperturutkan ego justru malah bertentangan dengan Tuhan. Hal
inilah yang kemudian mendorong Bayazid Al-Bustami selama bertahun-tahun
mendisiplinkan diri untuk menata ego dan nafs hingga nafs yang ia miliki
telah menjelma menjadi cermin baginya.

Sampai suatu hari, ia merasakan bahwa dirinya merasa ujub, merasa lebih
besar dibandingkan orang lain. Maka ia pun berkemas diri dan menuju ke
Kota Khorasan. Ia tinggal di sebuah tempat berteduh dan berjanji kepada
dirinya sendiri tak akan meninggalkan tempat itu sampai mendapatkan
teguran dari Allah. Pada hari keempat ia melihat seorang pengendara unta
menuju ke arahnya. Sebuah pikiran melayang dalam benaknya bahwa ia bisa
menghentikan unta tersebut di tempat ia berada.

Melihat ke arah Bustami, pengendara unta itu berkata, 'Jangan
menghancurkan Bastam dan Bayazid secara bersamaan.'' Ia terpana dan
menanyakan dari mana orang tersebut datang. Kemudian dijawab bahwa ia
datang dari tempat yang mengeluarkan janji (hati). Sebelum meninggalkan
Bayazid, orang itu pun berkata, ''Bayazid jaga dan lindungilah hatimu.''
Bayazid tak pernah melupakan peristiwa itu. Dalam kajian tasawuf, Bayazid
mengenal tasawuf dari seorang India, Abu Ali as-Sindi, yang mengajarinya
ajaran al-fana fi at-tauhid (keluluhan dalam tauhid).

Salah satu perkataan Bayazid yang menunjukkan kecenderungannya dalam
tasawuf adalah, "Aku telah mengetahui Allah melalui Allah dan aku telah
mengetahui hal ihwal selain Allah dengan cahaya Allah." Ia juga menyatakan
bahwa jika Allah mencintai hamba-Nya, Dia akan menjamin tiga tanda sebagai
bukti cinta-Nya : Kekayaan seperti kayanya samudra, kemurahan seperti
murahnya matahari memberikan sinarnya, dan keindahan seperti indahnya
bumi. Dalam keluluhannya itulah kemudian Bayazid terkenal dengan istilah
ittihad, yang berarti bersatunya sufi dengan Tuhan.

Bayazid juga kerap disebut sebagai salah satu sufi Shatta, sufi yang
terpesona dengan cinta yang bersifat ketuhanan dan percaya terjadinya
peleburan antara dirinya dengan Tuhan. Laiknya Al-Hallaj dengan
perkataannya, anna al-haq (aku adalah kebenaran), Bayazid juga terkenal
"Maha suci aku, maha suci aku, alangkah maha agungnya aku." Tak pelak
kemudian paham Bayazid ini mendapatkan kecaman dari ulama syariat, karena
dipandang menyesatkan.

Para ulama itu menilai ajaran Bayazid tentang ittihad adalah sesat dan
menyimpang dari syariat dan akidah serta menunjukkan penghujatan terhadap
Tuhan. Ucapannya yang lain adalah "Sesungguhnya aku adalah Allah. Tidak
ada Tuhan selain aku. Maka sembahlah aku." Secara harfiah, Bayazid
dianggap kafir. Namun sebagian kalangan juga memberikan pembelaan terhadap
pandangan Bayazid. Menurutnya, ittihad yang dicapai Bayazid adalah
pengalaman spiritualnya yang diliputi perasaan bahwa dirinya bersatu
dengan Tuhan.

Dalam ittihad yang dirasakan hanya satu wujud, meskipun sebenarnya ada dua
wujud yang berbeda, yaitu sang sufi dan Tuhan. Pada tingkat ini, sang sufi
kehilangan kesadaran tentang dirinya sendiri dan segala sesuatu selain
Tuhan. Sehingga yang tersisa hanyalah kesadaran tentang Tuhan. Paham ini
tetap mempertahankan perbedaan antara Tuhan dan manusia. Sebuah percakapan
Bayazid dengan muridnya, menunjukkan dengan jelas bahwa ia penganut paham
al fana fi at tauhid.

Salah satu pengikut Bayazid Al-Bustami adalah Zhun Nun al-Misri. Ketika
Bayazid menanyakan siapa yang dicarinya, Zhun Nun menjawab bahwa ia
mencari Bayazid. Bayazid pun mengatakan bahwa selama empat puluh tahun
hingga bertemu Zhun Nun, belum menemukan dirinya. Dari perkataan tersebut,
Zhun Nun menyatakan bahwa gurunya telah kehilangan dirinya karena melebur
di dalam cinta Allah. Itulah yang menyebabkan mengapa ia mencoba menemukan
dirinya kembali.

Dalam buku Kashf al-Mahjub karya Hujwiri, diceritakan bahwa Bayazid pergi
ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji berbekal rasa ingin tahu yang
tinggi serta niat sepenuh hati. Hanya satu hal yang ia ingin capai, dapat
melihat Allah. Namun ketika tiba di baitullah, ia pun kecewa karena hanya
menyaksikan sebuah bangunan dari batu dan lempung. Sejak itu ia bertekad
untuk terus menunaikan ibadah haji ke Makkah hingga melihat Tuhan.

Setelah perjalanan ketiganya kemudian terpikir bahwa ia melihat Tuhan dan
melebur dengan dirinya. Meski dengan pertentangan mengenai ajaran yang ia
tinggalkan, banyak sarjana Muslim yang mengaku bahwa Bayazid telah
menorehkan warna dalam khazanah Islam dan menganggapnya sebagai guru. Di
antaranya adalah Ibn Taymiyya yang menyatakan bahwa Bayazid adalah
gurunya. Bayazid, katanya, tak akan menyatu dengan sesuatu kecuali dengan
Tuhan dan tak meminta kecuali kepada Tuhan.
Ia pun mengutip perkataan sang sufi "Aku tak menginginkan apa yang tak
diinginkan Tuhan." Bayazid mempertahankan pendiriannya meski beberapa kali
ia harus mengalami pengusiran dari kota kelahirannya. Pada usia 70 tahun,
875 M, di Bastam, kota kelahirannya, Bayazid Al-Bustami menghembuskan
nafas yang terakhir. Ia hingga kini dianggap sebagai peletak dasar ajaran
sufi dan menjadi sufi pada masa awal.



TIGA ORANG DARWIS

Konon, ada tiga orang darwis. Mereka bernama Yak, Do, dan
Se. Mereka masing-masing berasal dari Utara, Barat, dan
Selatan. Mereka memiliki suatu hal yang sama: berusaha
mencari Kebenaran Dalam, oleh karenanya mereka mencari
Jalan.

Yang pertama, Yak-Baba, duduk dan merenung sampai kepalanya
pening. Yang kedua, Do-Aghas tegak dengan kepala di bawah
sehingga kakinya kaku. Yang ketiga, Se-Kalandar, membaca
buku-buku sampai hidungnya mengeluarkan darah.

Akhirnya mereka memutuskan untuk berusaha bersama-sama.
Mereka mengundurkan diri ke tempat sunyi dan melakukan
latihan bersama, mengharap agar ketiga kekuatan yang
digabung akan cukup kuat untuk mendatangkan Kebenaran, yang
mereka sebut Kebenaran Dalam.

Empat puluh hari empat puluh malam lamanya mereka bertahan
menderita. Akhirnya, dalam pusaran asap putih muncullah
kepala seorang lelaki yang sangat tua di hadapan mereka;
tampaknya ia muncul dari tanah. "Apakah kau Kidir yang gaib
itu, pemandu manusia?" tanya darwis pertama. "Bukan, ia
Kutub, Tiang Semesta," sahut yang kedua. "Aku yakin, itu
pasti tak lain salah seorang dari para Abdal. Orang-orang
Yang Terubah," kata yang ketiga.

"Salah semua" teriak bayang-bayang itu keras-keras, "tetapi
aku adalah apapun yang kau inginkan tentangku. Dan kini
kalian menginginkan satu hal, yakni yang kausebut Kebenaran
Dalam?"

"Ya, O Guru," sahut mereka serentak.

"Pernahkah kalian mendengar peribahasa, ada banyak Jalan
sebanyak hati manusia?" tanya kepala itu. Bagaimanapun,
inilah jalanmu:

"Darwis pertama akan mengembara melalui Negeri Orang Tolol;
Darwis Kedua harus menemukan Cermin Ajaib; Darwis Ketiga
harus meminta pertolongan Jin Pusaran Air." Setelah berkata
demikian, kepala itupun menghilang.

Mereka bertiga membicarakan masalah itu, tidak hanya karena
mereka memerlukan penjelasan lebih lanjut sebelum berangkat,
tetapi juga karena meskipun mereka semua telah mengadakan
latihan berbagai cara, masing-masing percaya bahwa hanya ada
satu cara yakni caranya sendiri, tentu saja. Dan kini,
masing-masing tidak yakin benar bahwa caranya sendiri itu
cukup berguna, meskipun boleh dikatakan telah mampu
mendatangkan bayang-bayang yang baru saja mereka saksikan
tadi, yang namanya sama sekali tidak mereka ketahui.

Yak-Babalah pertama-tama meninggalkan tempat samadinya;
biasanya ia akan bertanya kepada orang yang ditemuinya,
apakah ada orang bijaksana yang tinggal dekat-dekat daerah
itu; tetapi kini ia bertanya apakah mereka mengetahui Negeri
Orang Tolol. Akhirnya setelah berbulan-bulan lamanya, ada
juga yang tahu, dan berangkatlah ia menuju kesana. Segera
setelah ia memasuki negeri itu, dilihatnya seorang wanita
menggendong pintu. "Wanita," tanyanya, "mengapa kaugendong
pintu itu?"

"Sebab, pagi tadi, sebelum berangkat kerja, suamiku
berpesan: "Istriku, dirumah kita ini tersimpan harta
berharga. Jangan kauperbolehkan orang melewati pintu ini."
Karena aku pergi, kubawa pintu ini agar tidak ada yang
melewatinya. Kini perkenankanlah saya melewatimu."

"Apakah saya boleh menjelaskan sesuatu agar kau tahu bahwa
sebenarnya tak perlu kau bawa kemana-mana pintu itu?" tanya
Darwis Yak-Baba. "Tidak usah," kata wanita itu.
"Satu-satunya yang bisa menolong adalah apabila Saudara bisa
menjelaskan cara memperingan bobot pintu ini."

"Wah, itu saya tidak tahu," kata Darwis. Dan mereka pun
berpisah.

Beberapa langkah kemudian ia menjumpai sekelompok orang.
Mereka semua gemetar ketakutan di depan sebuah semangka
besar yang tumbuh di ladang. "Kami belum pernah melihat
raksasa itu sebelumnya," mereka menjelaskan kepada Darwis
itu, "dan tentunya ia akan tumbuh semakin besar dan membunuh
kami semua. Tetapi kami takut menyentuhnya."

"Bolehkah saya mengatakan sesuatu kepada kalian tentang
itu?" tanyanya kepada mereka.

"Jangan goblok!" jawab mereka. "Bunuhlah ia, dan kau akan
diberi hadiah, tetapi kami tidak mau tahu apapun
tentangnya." Maka Darwis itupun mengeluarkan pisau,
mendekati semangka itu, memotong seiris, dan kemudian mulai
memakannya

Di tengah-tengah jerit ketakutan yang hiruk-pikuk
orang-orang itu memberinya uang. Ketika ia pergi, mereka
berkata, "Kami mohon jangan kembali kemari, Tuan Pembunuh
Raksasa. Jangan datang kemari dan memakan kami seperti
tadi!"

Demikianlah, sedikit demi sedikit ia mengerti bahwa di
Negeri Orang Tolol, agar bisa bertahan hidup, orang harus
bisa berfikir dan berbicara seperti orang tolol. Setelah
beberapa tahun lamanya, ia mencoba mengubah beberapa orang
tolol menjadi waras, dan sebagai hadiahnya pada suatu hari
Darwis itu mendapatkan Pengetahuan Dalam. Meskipun ia
menjadi orang suci di Negeri Orang Tolol, rakyat
mengingatnya hanya sebagai Orang yang Membelah Raksasa Hijau
dan Meminum Darahnya. Mereka mencoba melakukan hal yang
sama, untuk mendapatkan Pengetahuan Dalam --dan mereka tak
pernah mendapatkannya.

Sementara itu, Do-Agha, Darwis Kedua, memulai perjalanannya
mencari Pengetahuan Dalam. Kali ini ia tidak menanyakan
tentang orang-orang suci atau cara-cara latihan yang baru,
tetapi tentang Cermin Ajaib, Jawaban-jawaban yang
menyesatkan sering didengarnya, namun akhirnya ia mengetahui
tempat Cermin itu. Cermin itu tergantung di sumur pada
seutas tali yang selembut rambut, dan sebenarnya hanya
sebagian saja, sebab Cermin itu terbuat dari pikiran-pikiran
manusia, dan tidak ada cukup pikiran untuk bisa membuatnya
sebuah Cermin yang utuh.

Setelah itu ia berhasil menipu raksasa yang menjaganya,
Do-Agha menatap Cermin itu dan meminta Pengetahuan Dalam.
Sekejap saja ia sudah memilikinya. Iapun tinggal di sebuah
tempat dan mengajar dengan penuh kebahagiaan beberapa tahun
lamanya. Tetapi pengikut-pengikutnya tidak bisa mencapai
taraf pemusatan pikiran yang diperlukan untuk memperbaharui
cermin itu secara teratur, cermin itu pun lenyaplah. Namun,
sampai hari ini masih ada orang-orang yang menatap cermin,
membayangkan bahwa Cermin Ajaib Do-Agha, Sang Darwis.

Sedangkan Darwis Ketiga, Se-Kalandar, ia pergi ke mana-mana
mencari Jin Pusaran Air. Jin itu dikenal dengan pelbagai
nama, namun Se-Kalandar tidak mengetahuinya; dan
bertahun-tahun lamanya ia bersilang jalan dengan Jin itu,
senantiasa gagal menemuinya karena Jin itu disana tidak
dikenal sebagai Jin dan mungkin tidak dikait-kaitkan dengan
pusaran air.

Akhirnya, setelah bertahun-tahun lamanya, ia pergi kesebuah
dusun dan bertanya, "O Saudara-saudara! apakah ada diantara
kalian yang pernah mendengar tentang Jin Pusaran Air?"

"Saya tak pernah mendengar tentang Jin itu," kata seseorang,
"tetapi desa ini disebut Pusaran Air."

Darwis merubuhkan tubuhnya ke tanah dan berteriak, "Aku tak
akan meninggalkan tempat ini sampai Jin Pusaran Air muncul
di hadapanku!"

Dan Jin itu, yang sedang lewat dekat tempat itu, memutar
langkahnya dan berkata, "Kami tidak menyukai orang asing di
desa kami, darwis. Karena itu aku datang padamu. Nah, apa
yang kau cari?"

Aku mencari Pengetahuan Dalam, dan aku diberi tahu bahwa
dalam keadaan tertentu kau bisa mengatakan padaku bagaimana
mendapatkannya.

"Tentu, aku bisa," kata Si Jin. "Kau telah mengalami banyak
hal. Yang harus kau lakukan tinggal mengucapkan ungkapan
ini, menyanyikan lagu itu, melakukan tindakan itu. Kau pun
nanti akan mendapatkan Pengetahuan Dalam."

Darwis itu mengucapkan terima kasih kepada Jin, lalu memulai
latihannya. Bulan-bulan berlalu, kemudian bertahun-tahun,
sampai akhirnya ia berhasil melakukan pengabdian dan
ketaatannya secara benar. Orang-orang datang dan
menyaksikannya dan kemudian meniru-nirunya, karena
semangatnya, dan karena ia dikenal sebagai orang yang taat
dan saleh.

Akhirnya Darwis itu mencapai Pengetahuan Dalam; jauh
meninggalkan pengikut-pengikutnya yang setia, yang
meneruskan cara-caranya. Tentu saja mereka itu tidak pernah
mencapai Pengetahuan Dalam, sebab mereka memulai pada akhir
telaah Sang Darwis.

Setelah itu, apabila ada pengikut-pengikut ketiga Darwis
itu bertemu, salah seorang berkata, "Aku memiliki kaca
Tataplah, dan kau akan mencapai Pengetahuan Dalam."

Yang lain menjawab, "Korbankan semangka,ia akan menolongmu
seperti yang pernah terjadi atas Yak-Baba."

Yang ketiga menyela, "Tak mungkin: Satu-satunya cara adalah
tabah dalam mempelajari dan menyusun latihan tertentu,
sembahyang, dan bekerja keras."

Ketika pada kenyataannya ketiga Darwis itu berhasil mencapai
Pengetahuan Dalam, mereka bertiga mengetahui bahwa tak mampu
menolong mereka yang telah mereka tinggalkan di belakang:
seperti ketika seorang terbawa oleh air pasang dan melihat
di darat ada seorang diburu singa, dan tidak bisa
menolongnya.

Catatan

Petualangan-petualangan orang-orang ini nama-nama mereka
berarti "satu," "dua" dan "tiga" --kadang-kadang diartikan
sebagai ejekan terhadap agama yang lazim.

Kisah ini merupakan ringkasan sebuah kisah ajaran yang
terkenal, "Apa yang Terjadi atas Mereka Bertiga." Kisah ini
dianggap sebagai ciptaan guru Sufi, Murad Shami, kepala Kaum
Muradi, yang meninggal tahun 1719. Para darwis yang
menceritakannya menyatakan bahwa kisah ini mempunyai pesan
dalam yang jauh lebih penting dalam hal-hal praktis,
daripada arti yang diluarnya saja.




SANTAPAN DARI SORGA

Yunus, putra Adam, pada suatu saat memutuskan untuk tidak
sekedar menyerahkan hidupnya pada nasib, tetapi mencari cara
dan alasan penyediaan kebutuhan manusia.

"Aku manusia," katanya kepada dirinya sendiri. "Sebagai
manusia aku mendapat sebagian dari kebutuhan dunia, setiap
hari. Bagian itu aku dapat karena usahaku sendiri, didukung
oleh usaha orang lain juga. Dengan menyederhanakan proses
ini, aku akan mencari tahu bagaimana cara makanan mencapai
manusia, dan belajar sesuatu mengenai bagaimana dan
mengapanya. Daripada hidup di dunia kacau-balau ini, dimana
makanan dan kebutuhan lain jelas datang melalui masyarakat,
aku akan menyerahkan diriku kepada Penguasa langsung yang
memerintah segalanya. Pengemis hidup lewat perantara: Lelaki
dan wanita yang pemurah, yang merelakan sebagian hartanya
berdasarkan desakan hati yang tidak sepenuh-penuhnya. Mereka
melakukan itu karena telah dididik berbuat demikian. Aku
tidak mau menerima sumbangan yang tidak langsung itu."

Selesai berbicara sendiri itu, iapun berjalan ke tempat
terpencil, menyerahkan dirinya kepada bantuan kekuatan gaib
dengan keyakinan yang sama seperti ketika ia menyerahkan
dirinya kepada bantuan yang kasat mata, yakni ketika ia dulu
menjadi guru di sebuah sekolah.

Ia pun jatuh tertidur, yakin bahwa Allah akan mengurus
kebutuhannya sebaik-baiknya, sama seperti burung-burung dan
binatang lain mendapatkan keperluannya di dunia mereka
sendiri.

Waktu subuh, kicau burung membangunkannya, dan anak Adam itu
mula-mula berbaring saja, menanti munculnya makanan.
Meskipun ia mula-mula sepenuhnya menyerahkan dirinya kepada
kekuatan gaib dan yakin bahwa ia akan mampu memahaminya
kalau kekuatan gaib itu mula bekerja di tempat itu, Yunus
segera menyadari bahwa renungan saja tidak akan banyak
membantunya di medan yang tidak biasa ini.

Ia berbaring di tepi sungai, dan menghabiskan seluruh hari
memperhatikan alam, mengintai ikan di sungai, dan
bersembahyang. Satu demi satu lewatlah orang-orang kaya dan
berkuasa, disertai pengiring yang naik kuda bagus-bagus;
terdengar kelinting pakaian kuda menandakan keyakinan jalan
yang ditempuhnya, dan mendengar salam orang-orang itu karena
mereka melihat ikat kepala yang dikenakannya.
Kelompok-kelompok penziarah beristirahat dan mengunyah kue
kering dan keju, dan air liurnya pun semakin mengucur
membayangkan makanan yang paling sederhana.

"Ini hanya ujian, dan semua akan segera berlalu," pikir
Yunus, ketika ia selesai mengerjakan sembahyang Isya, dan
memulai tepekurnya menurut cara yang pernah diajarkan
kepadanya oleh seorang darwis yang memiliki pandangan tajam
dan luhur dalam mencapai tujuan.

Malam pun berlalu.

Dan Yunus sedang duduk menatap berkas-berkas sinar matahari
yang patah-patah terpantul di Sungai Tigris yang agung,
ketika lima jam sesudah subuh, pada hari kedua, tampak
olehnya sesuatu menyembul-nyembul di antara alang-alang.
Barang itu ternyata sebuah bungkusan daun yang diikat dengan
serabut kelapa.

Yunus, anak Adam, terjun ke sungai dan mengambil benda aneh
itu.

Beratnya sekitar setengah kilogram. Ketika dibukanya
pengikat itu, bau yang sedap menyerang lubang hidungnya.
Yunus mendapat halwa Bagdad. Halwa makanan itu, dibuat dari
cairan buah badam, air mawar madu, dan kacang - dan pelbagai
bahan lain yang berharga - oleh karenanya sangat digemari
karena rasanya yang enak dan khasiatnya yang tinggi bagi
kesehatan. Putri-putri cantik penghuni harem menggigit-
gigitnya karena rasanya yang enak; para prajurit membawanya
ke medan perang karena bisa menimbulkan ketahanan tubuh. Ia
pun bisa dipergunakan untuk mengobati seratus penyakit.

"Keyakinanku terbukti!" kata Yunus. "Dan kini tinggal
mengujinya. Jika ada halwa yang sebesar ini, atau makanan
yang sama, diantarkan kepadaku lewat sungai ini setiap
hari, atau pada waktu-waktu yang teratur, aku akan
mengetahui cara yang ditempuh oleh Sang Pemelihara
untuk memberi makanan padaku. Dan sesudah itu aku bisa
menggunakan akalku untuk mencari sumbernya."

Tiga hari berturut-turut sesudah itu, pada jam-jam yang
tepat sama, sebungkus halwa terapung menuju ke tempat Yunus.

Ia berkeyakinan kuat bahwa hal itu merupakan penemuan yang
maha penting. Kita sederhanakan saja keadan kita, dan Alam
terus menjalankan tugasnya dengan cara yang kira-kira sama.
Hal itu saja melupakan penemuan yang dirasanya harus
disebarkan ke seluruh dunia. Bukankah sudah dikatakan,
"Kalau kau mengetahui sesuatu, ajarkan itu." Namun kemudian
disadarinya bahwa ia tidak mengetahui, ia baru mengalami.
Langkah berikutnya yang harus ditempuh adalah mengikuti
jalan halwa itu mudik sampai ia mencapai sumbemya. Tentu ia
nanti tidak hanya mengetahui asal usulnya, tetapi juga cara
bagaimana makanan itu sengaja disediakan untuk dimakannya.

Berhari-hari lamanya Yunus mengikuti alur sungai setiap hari
secara teratur tetapi pada waktu yang semakin lama semakin
awal halwa itu muncul, dan Yunus memakannya.

Akhirnya Yunus melihat bahwa sungai itu bukannya tambah
sempit di udik, tetapi malah melebar. Di tengah-tengah
sungai yang luas itu terdapat sebidang tanah yang amat
subur. Di tanah itu berdiri sebuah istana yang kokoh namun
indah. Dari sanalah, pikirnya, makanan itu berasal.

Ketika ia sedang memikirkan langkah berikutnya Yunus melihat
seorang darwis yang tinggi dan kusut, yang rambutnya kusut
bagaikan pertapa dan pakaiannya bertambal warna-warni,
berdiri dihadapannya.

"Salam, Bapak," kata Yunus.

"Salam, huuu!" jawab pertapa itu keras. "Apa pula urusanmu
disini?"

"Saya melakukan suatu penyelidikan suci," anak Adam itu
menjelaskan, "dan saya harus mencapai benteng di seberang
itu untuk menyempurnakannya. Barangkali Bapak mengetahui
akal agar saya bisa kesana?"

"Karena tampaknya kau tak mengetahui apa-apa tentang benda
itu, walaupun aku sendiri menaruh minat padanya," kata
pertapa itu, "akan kuberi tahu juga kau tentangya.

Pertama-tama, putri seorang raja tinggal di sana, dalam
tawanan dan pembuangan, dijaga oleh sejumlah dayang-dayang
jelita, memang enak, tetapi terbatas juga geraknya. Sang
Putri tidak bisa melarikan diri sebab lelaki yang menangkap
dan memenjarakannya disana -karena Sang Putri menolak
lamarannya- telah mendirikan rintangan-rintangan yang kokoh
tak terlampaui, yang tak tampak oleh mata. Kau harus
mengungguli rintangan-rintangan itu agar bisa memasuki
benteng dan mencapai tujuanmu."

"Bapak bisa menolong saya?"

"Aku sendiri sedang akan memulai perjalanan khusus demi
pengabdian. Tetapi, kukatakan padamu rahasia sepatah kata,
Wazifa, yang-kalau memang sesuai untuk itu- akan membantumu
mengumpulkan kekuatan gaib para Jin berbudi, makhluk api,
yakni satu-satunya makhluk yang dapat mengungguli kekuatan
sihir yang telah mengunci benteng tersebut. Semoga kau
selamat." Dan pertapa itupun pergi, setelah mengucapkan
suara-suara aneh berulang-ulang dan bergerak tangkas dan
cekatan, sangat mengagumkan mengingat sosoknya yang patut
dimuliakan itu.

Berhari-hari lamanya Yunus duduk latihan dan memperhatikan
munculnya halwa. Kemudian, pada suatu malam ketika sedang
disaksikannya matahari bersinar-sinar di menara benteng,
tampak olehnya pemandangan yang aneh. Disana, berkilauan
dalam keindahan sorgawi, berdirilah seorang gadis yang
tentunya putri yang dikisahkan itu. Beberapa saat lamanya ia
berdiri menyaksikan matahari, dan kemudian menjatuhkan
sesuatu ke ombak yang mengalun jauh di bawah kakinya -yang
dijatuhkannya itu adalah halwa. Nah, ternyata itulah sumber
langsung karunianya.

"Sumber Makanan Sorga!" teriak Yunus. Kini ia merasa berada
diambang kebenaran. Kapanpun nanti, Pemimpin Jin, yang
dipanggil-panggilnya lewat wazifa darwis, tentu datang, dan
akan dapatlah ia mencapai benteng, putri, dan kebenaran itu.

Tidak berapa lama sesudah pikiran itu melintas di benaknya,
ia merasa dirinya terbawa terbang melewati langit yang
tampaknya seperti kerajaan dongeng, penuh dengan rumah-rumah
yang indah mengagumkan. Ia memasuki salah satu diantaranya,
dan disana berdiri seorang makhluk bagai manusia, yang
sebenarnya bukan manusia: tampaknya masih muda, namun
bijaksana, dan jelas sudah sangat tua. "Hamba," kata makhluk
itu, "adalah Pemimpin Jin, dan hamba telah membawa Tuan
kemari sesuai dengan permintaan Tuan melalui Nama Agung yang
telah diberikan kepada Tuan oleh Sang Darwis Agung. Apa yang
bisa hamba lakukan untuk Tuan?"

"O Pemimpin Jin yang perkasa," kata Yunus gemetar, "aku
Pencari Kebenaran,dan jawaban bagi pencarianku itu hanya
bisa aku dapatkan di dalam benteng yang mempesona di dekat
tempatku berdiri ketika kau memanggilku ke mari. Berilah aku
kekuatan untuk memasuki benteng itu dan untuk berbicara
kepada putri yang terkurung di sana."

"Permohonan dikabulkan!" kata Sang Pemimpin Jin. "Tetapi
ketahuilah, orang mendapatkan jawaban bagi pertanyaannya
sesuai dengan kemampuannya memahami dan persiapannya
sendiri."

"Kebenaran tetap kebenaran," kata Yunus, "dan aku akan
mendapatkannya, apa pun juga ujudnya nanti. Berikan anugerah
itu."

Segera saja Yunus dikirim cepat-cepat dalam keadaan tak
kelihatan (dengan kekuatan sihir Jin), dikawal oleh
sekelompok Jin kecil-kecil sebagai pembantunya, yang oleh
Pemimpinnya diberi tugas



SI PENUNGGANG KUDA DAN ULAR

Ada sebuah pepatah yang mengatakan, "sangkalan" orang
berpengetahuan lebih berharga daripada, "dukungan" si bodoh.

Aku, Salim Abdali, bersaksi bahwa hal itu benar dalam
jangkauan pengalaman yang lebih agung, juga benar dalam
taraf pengalaman yang lebih rendah.

Hal ini terwujud dalam kebiasaan Sang Bijak, yang telah
menurunkan kisah Si Penunggang Kuda dan Ular.

Seorang Penunggang kuda, dari suatu tempat yang aman,
melihat ada seekor ular menyusup ke dalam tenggorokan
seseorang lagi tidur. Penunggang kuda itu menyadari bahwa
apabila orang itu dibiarkannya terus tidur, tentulah racun
ular tersebut akan mematikannya

Oleh karena itu ia mencambuk Si Tidur sampai terbangun.
Karena mendesaknya waktu, ia pun memaksa orang itu pergi
ketempat yang terdapat sejumlah buah apel yang busuk, dan
memaksanya memakan buah-buah busuk itu. Setelah itu, Si
Penunggang Kuda, memaksanya minum air sungai
sebanyak-banyaknya.

Selama itu, orang tersebut selalu berusaha melepaskan diri,
tangisnya, "Apa dosaku, hai kemanusiaan, sehingga aku kau
siksa begini kejam?"

Akhirnya, ketika ia hampir lemas, dan sore hari tiba, lelaki
itu jatuh ke tanah dan memuntahkan buah apel, air, dan ular
tadi. Ketika diketahuinya apa yang telah dimuntahkannya, ia
memahami apa yang telah terjadi, dan mohon maaf kepada Si
Penunggang Kuda.

Ini syaratnya. Dalam membaca kisah ini, jangan mengelirukan
sejarah untuk ibarat, atau ibarat untuk sejarah. Mereka yang
dianugerahi pengetahuan memiliki kewajiban. Mereka yang
tidak berpengetahuan, tidak memiliki apapun di balik apa
yang bisa mereka terka-terka.

Orang yang di tolong itu mengatakan, "Kalau tadi kau
mengatakan hal itu, tentu saya terima perlakuanmu itu dengan
rasa terima kasih."

Si Penunggang Kuda menjawab, "Kalau tadi kukatakan hal itu,
tentu kau tidak percaya Atau kau menjadi kejang ketakutan.
Atau kau lari pontang-panting. Atau malah tidur lagi."

Sambil memacu kudanya, orang yang diliputi rahasia itu
segera berlalu.

Catatan

Salim Abdali (1700-1765) menyebabkan para Sufi menerima
caci-maki dari pada cerdik-cendekia yang sebelumnya tak
pernah terjadi karena pernyataannya bahwa seorang Sufi ulung
bisa mengetahui ketidakberesan seseorang, dan mungkin harus
bertindak cepat dan dengan cara yang tampaknya bertentangan
dengan seharusnya dilakukan untuk menolong orang itu, dan
oleh karenanya bisa menimbulkan kemarahan orang-orang yang
sebenarnya tidak mengetahui apa yang ia lakukan

Kisah ini dikutip oleh Abdali dari Rumi. Bahkan kini,
mungkin tidak banyak orang mau menerima pernyataan yang
tersirat dalam kisah ini. Namun, pernyataan semacam itu
telah diterima oleh semua Sufi, dalam bentuk yang
berbeda-beda. Dalam komentarnya terhadap hal ini, guru Sufi
Haidar Gul hanya mengatakan, ada batas tertentu, yang
apabila dilanggar menyebabkan keburukan bagi manusia, yakni
menyembunyikan kebenaran hanya agar tidak menyinggung
perasaan mereka yang dipikirannya tertutup."



SI TOLOL DAN UNTA YANG SEDANG MAKAN RUMPUT

Seorang Tolol memperhatikan seekor unta yang sedang makan
rumput. Katanya kepada binatang itu, "Tampangmu mencong.
Kenapa begitu?"

Unta menjawab, "Dalam menilai kesan yang timbul, kau
mengaitkan kesalahan dengan hal yang mewujudkan bentuk.
Hati-hatilah terhadap hal itu! Jangan menganggap wajahku
yang buruk sebagai suatu kesalahan.

Pergi kau menjauh dariku, ambil jalan lintas. Tampangku
mengandung arti tertentu, punya alasan tertentu. Busur
memerlukan yang lurus dan yang bengkok, pegangannya dan
talinya."

Orang tolol, enyahlah: "Pemahaman keledai sesuai dengan
sifat keledai."

Catatan

Maulana Majdud, yang dikenal sebagai Hakim Sanai, Sang Bijak
Yang Gilang Gemilang dari Ghaznas menghasilkan banyak
karangan mengenai tak bisa dipercayanya kesan subyektif dan
penilaian bersyarat.

Salah satu petuahnya adalah, "Pada cermin rusak dalam
fikiranmu, bidadari bisa tampak mempunyai wajah setan."

Kisah perumpamaan itu dipetik dari Taman Kebenaran yang
Berpagar, yang ditulis sekitar tahun 1130.




TIGA NASEHAT

Pada suatu hari ada seseorang menangkap burung. Burung itu
berkata kepadanya, "Aku tak berguna bagimu sebagai tawanan.
Lepaskan saja aku, nanti kuberi kau tiga nasehat."

Si Burung berjanji akan memberikan nasehat pertama ketika
masih berada dalam genggaman orang itu, yang kedua akan
diberikannya kalau ia sudah berada di cabang pohon, dan yang
ketiga ia sudah mencapai puncak bukit.

Orang itu setuju, dan meminta nasehat pertama.

Kata burung itu,

"Kalau kau kehilangan sesuatu, meskipun kau menghargainya
seperti hidupmu sendiri, jangan menyesal."

Orang itupun melepaskannya, dan burung itu segera melompat
ke dahan.

Di sampaikannya nasehat yang kedua,

"Jangan percaya kepada segala yang bertentangan dengan akal,
apabila tak ada bukti."

Kemudian burung itu terbang ke puncak gunung. Dari sana ia
berkata,

"O manusia malang! diriku terdapat dua permata besar, kalau
saja tadi kau membunuhku, kau akan memperolehnya!"

Orang itu sangat menyesal memikirkan kehilangannya, namun
katanya, "Setidaknya, katakan padaku nasehat yang ketiga
itu!"

Si Burung menjawab,

"Alangkah tololnya kau, meminta nasehat ketiga sedangkan
yang kedua pun belum kaurenungkan sama sekali! Sudah
kukatakan padamu agar jangan kecewa kalau kehilangan, dan
jangan mempercayai hal yang bertentangan dengan akal. Kini
kau malah melakukan keduanya. Kau percaya pada hal yang tak
masuk akal dan menyesali kehilanganmu. Aku toh tidak cukup
besar untuk bisa menyimpan dua permata besar!

Kau tolol. Oleh karenanya kau harus tetap berada dalam
keterbatasan yang disediakan bagi manusia."

Catatan

Dalam lingkungan darwis, kisah ini dianggap sangat penting
untuk "mengakalkan" pikiran siswa Sufi, menyiapkannya
menghadapi pengalaman yang tidak bisa dicapai dengan
cara-cara biasa.

Di samping penggunaannya sehari-hari di kalangan Sufi, kisah
ini kedapatan juga dalam klasik Rumi, Mathnawi. Kisah ini
ditonjolkan dalam Kitab Ketuhanan karya Attar, salah seorang
guru Rumi. Kedua pujangga itu hidup pada abad ke tiga belas.



ORANG YANG MUDAH NAIK DARAH

Setelah bertahun-tahun lamanya, seorang yang sangat mudah
marah menyadari bahwa ia sering mendapat kesulitan karena
sifatnya itu.

Pada suatu hari ia mendengar tentang seorang darwis yang
berpengetahuan dalam; iapun menemuinya untuk mendapatkan
nasehat.

Darwis itu berkata, "Pergilah ke perempatan anu. Di sana kau
akan menemukan sebatang pohon mati. Berdirilah di bawahnya
dan berikan air kepada siapapun yang lewat di depanmu."

Orang itu pun menjalankan nasehat tersebut. Hari demi hari
berlalu, dan ia pun dikenal baik sebagai orang yang
mengikuti sesuatu latihan kebaikan hati dan pengendalian
diri, di bawah perintah seorang yang berpengetahuan sangat
dalam.

Pada suatu hari ada seorang lewat bergegas; ia membuang
mukanya ketika ditawari air, dan meneruskan perjalanannya.
Orang yang mudah naik darah itu pun memanggilnya berulang
kali, "Hai, balas salamku! Minum air yang kusediakan ini,
yang kubagikan untuk musafir!"

Namun, tak ada jawaban.

Karena sifatnya yang dulu, orang pertama itu tidak bisa lagi
menguasai dirinya. Ia ambil senjatanya, yang digantungkannya
dipohon mati itu; dibidiknya pengelana yang tak peduli itu,
dan ditembaknya. Pengelana itupun roboh, mati.

Pada saat peluru menyusup ke tubuh orang itu, pohon mati
tersebut, bagaikan keajaiban, tiba-tiba penuh dengan bunga.

Orang yang baru saja terbunuh itu seorang pembunuh; ia
sedang dalam perjalanan untuk melaksanakan kejahatan yang
paling mengerikan selama perjalanan hidupnya yang panjang.

Nah, ada dua macam penasehat. Yang pertama adalah penasehat
yang memberi tahu tentang apa yang harus dilakukan sesuai
dengan aturan-aturan yang pasti, yang diulang-ulang secara
teratur. Macam yang kedua adalah Manusia Pengetahuan. Mereka
yang bertemu dengan Manusia Pengetahuan akan meminta nasehat
moral, dan menganggapnya sebagai moralis. Namun yang
diabdinya adalah Kebenaran, bukan harapan-harapan saleh.

Catatan

Guru Darwis yang digambarkan dalam kisah ini konon adalah
Najamudin Kubra, salah seorang yang paling agung di antara
para ulama Sufi. Ia mendirikan Mazhab Kubrawi 'Persaudaraan
Lebih Besar' yang sangat mirip dengan Mazhab yang kemudian
didirikan oleh Santo Fransiskus. Seperti Santo Asisi,
Najamudin dikenal memiliki kekuasaan gaib atas binatang.

Najamudin adalah salah seorang di antara enam ratus ribu
orang yang mati ketika Khwarizm di Asia Tengah dihancurkan
pada tahun 1221. Konon, Jengis Khan Si Mongol Agung bersedia
menolong jiwanya jika Najamudin mau menyerahkan diri, karena
Sang Kaisar mengetahui kemampuan istimewa Sang Darwis.
Tetapi Najamudin tetap berada di antara para pembela kota
itu dan kemudian ditemukan di antara korban perang tersebut.

Karena telah mengetahui akan datangnya mala petaka itu,
Najamudin menyuruh pergi semua pengikutnya ke tempat aman
beberapa waktu sebelum munculnya gerombolan Mongol tersebut.

Kisah Seekor Kodok

Sekelompok kodok sedang berjalan-jalan melintasi hutan. Malangnya, dua di antara kodok tersebut jatuh kedalam sebuah lubang.Kodok-kodok yang lain mengelilingi lubang tersebut. Ketika melihat betapa dalamnya lubang tersebut,mereka berkata pada kedua kodok tersebut bahwa mereka lebih baik mati.Kedua kodok tersebut mengacuhkan komentar-komentar itu dan mencoba melompat keluar dari lubang itu dengan segala kemampuan yang ada. Kodok yang lainnya tetap mengatakan agar mereka berhenti melompat dan lebih baik mati.Akhirnya, salah satu dari kodok yang ada di lubang itu mendengarkan kata-kata kodok yang lain dan menyerah.Dia terjatuh dan mati. Sedang kodok yang satunya tetap melanjutkan untuk melompat sedapat mungkin.Sekali lagi kerumunan kodok tersebut berteriak padanya agar berhenti berusaha dan mati saja.Dia bahkan berusaha lebih kencang dan akhirnya berhasil.Akhirnya, dengan sebuah lompatan yang kencang, dia berhasil sampai di atas.Kodok lainnya takjub dengan semangat kodok yang satu ini, dan bertanya "Apa kau tidak mendengar teriakan kami?"Lalu kodok itu (dengan membaca gerakan bibir kodok yang lain) menjelaskan bahwa ia tuli.Akhirnya mereka sadar bahwa saat di bawah tadi mereka dianggap telah memberikan semangat kepada kodok tersebut.

Apa yang dapat kita pelajari dari ilustrasi di atas?

Kekuatan hidup dan mati ada di lidah. Kata-kata positif yang diberikan pada seseorang yang sedang "jatuh" justru dapat membuat orang tersebut bangkit dan membantu mereka dalam menjalani hari-hari.Sebaliknya, kata-kata buruk yang diberikan pada seseorang yang sedang "jatuh" dapat membunuh mereka.Hati hatilah dengan apa yang akan diucapkan.Suarakan 'kata-kata kehidupan' kepada mereka yang sedang menjauh dari jalur hidupnya.Kadang-kadang memang sulit dimengerti bahwa 'kata-kata kehidupan' itu dapat membuat kita berpikir dan melangkah jauh dari yang kita perkirakan.semua orang dapat mengeluarkan 'kata-kata kehidupan' untuk membuat rekan dan teman atau bahkan kepada yang tidak kenal sekalipun untuk membuatnya bangkit dari keputus-asaanya, kejatuhannya, kemalangannya.Sungguh indah apabila kita dapat meluangkan waktu kita untuk memberikan spirit bagi mereka yang sedang putus asa dan jatuh.




DOA UNTUK SESEORANG

Tuhanku,,,,,,,,,,,,,,,,
Aku berdoa untuk seorang wanita, yang akan
menjadi
bagian dari hidupku.
Seorang yang sungguh mencintaiMU lebih dari
segala sesuatu.
Seorang wanita yang akan meletakkanku pada
posisi kedua di hatinya setelah Engkau.
Seorang wanita yang hidup bukan untuk dirinya
sendiri
tetapi untukMU.

Wajah cantik dan daya tarik fisik tidaklah
utama.
Yang paling utama bagiku adalah sebuah hati yang
sungguh
mencintai dan haus akan Engkau

Dan memiliki keinginan untuk
menteladani sifat-sifat AgungMU.
Dan ia haruslah mengetahui bagi siapa dan untuk
apa ia hidup, sehingga hidupnya tidaklah sia-sia.

Seseorang yang memiliki hati yang bijak
bukan hanya otak yang cerdas.


Seorang wanita yang tidak hanya mencintaiku
tetapi juga menghormati aku.

Seorang wanita yang tidak hanya memujaku
tetapi dapat juga menasehati ketika aku berbuat salah.

Seorang yang mencintaiku bukan karena
keadaanku tetapi karena hatiku.

Seorang wanita yang dapat menjadi sahabat
terbaikku dalam tiap waktu dan situasi.

Seseorang yang dapat membuatku merasa
sebagai seorang makhluk ciptaanMU ketika berada disebelahnya.

Aku tidak meminta seorang yang sempurna,
Namun aku meminta seorang yang tidak sempurna,
sehingga aku dapat membuatnya sempurna dimataMU.

Seorang wanita yang membutuhkan
dukunganku sebagai peneguhnya.

Seorang wanita yang membutuhkan doaku
untuk kehidupannya.

Seseorang yang membutuhkan senyumanku
untuk mengatasi kesedihannya.

Seseorang yang membutuhkan diriku untuk
membuat hidupnya menjadi sempurna.

Dan aku pun memohon :
Buatlah aku menjadi seorang yang dapat
membuat dia bangga.

Berikan aku sebuah hati yang sungguh
mencintaiMU ,sehingga aku dapat mencintainya dengan cintaMU,
bukan mencintainya dengan sekedar cintaku.

Berikanlah SifatMU yang lembut sehingga
kecantikanNYA datang dariMU bukan dari luar diriku.

Berilah aku tanganMU sehingga aku selalu mampu
berdoa untuknya.

Berikanlah aku penglihatanMU sehingga aku
dapat melihat banyak hal baik dalam dirinya dan bukan hal buruk saja.

Berikan aku mulutMU yang penuh dengan kata-kata kebijaksanaanMU dan
pemberi semangat, sehingga aku dapat mendukungnya setiap hari,
dan aku dapat tersenyum padanya setiap pagi.

Dan bilamana akhirnya kami bertemu,aku berharap kami berdua dapat
mengatakaan "betapa besarnya Tuhan itu
karena Engkau telah memberikan kepadaku seseorang
yang dapat membuat hidupku menjadi sempurna".

Aku mengetahui bahwa Engkau menginginkan kami
bertemu pada waktu yang tepat,dan Engkau akan membuat segala
sesuatunya menjadi indah pada,waktu yang Kautentukan

eKin,,Minggu, 2007 02.11 wib





3/14/2008

LOS FELIDAS

Los Felidas adalah nama sebuah jalan di ibu kota sebuah negara di Amerika Selatan, yang terletak di kawasan terkumuh diseluruh kota. Ada sebuah kisah yang menyebabkan jalan itu begitu dikenang orang, dan itu dimulai dari kisah seorang pengemis wanita yang juga ibu seorang gadis kecil. Tidak seorang pun yang tahu nama aslinya, tapi beberapa orang tahu sedikit masa lalunya, yaitu bahwa ia bukan penduduk asli disitu, melainkan dibawa oleh suaminya dari kampung halamannya.

Seperti kebanyakan kota besar di dunia ini, kehidupan masyarakat kota terlalu berat untuk mereka, dan belum setahun mereka di kota itu,mereka kehabisan seluruh uangnya, dan pada suatu pagi mereka sadar bahwa mereka tidak tahu dimana mereka tidur malam nanti dan tidak sepeserpun uang ada dikantong. Padahal mereka sedang menggendong bayi mereka yang berumur 1 tahun.

Dalam keadaan panik dan putus asa, mereka berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya, dan akhirnya tiba di sebuah jalan sepi dimana puing-puing sebuah toko seperti memberi mereka sedikit tempat untuk berteduh. Saat itu angin Desember bertiup kencang, membawa titik-titik air yang dingin. Ketika mereka beristirahat dibawah atap toko itu, sang suami berkata: “Saya harus meninggalkan kalian sekarang. Saya harus mendapatkan pekerjaan, apapun, kalau tidak malam nanti kita akan tidur disini.”

Setelah mencium bayinya ia pergi. Dan ia tidak pernah kembali. Tak seorangpun yang tahu pasti kemana pria itu pergi, tapi beberapa orang seperti melihatnya menumpang kapal yang menuju ke Afrika. Selama beberapa hari berikutnya sang ibu yang malang terus menunggu kedatangan suaminya, dan bila malam tidur di emperan toko itu.

Pada hari ketiga, ketika mereka sudah kehabisan susu, orang-orang yang lewat mulai memberi mereka uang kecil, dan jadilah mereka pengemis di sana selama 6 bulan berikutnya. Pada suatu hari, tergerak oleh semangat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu itu bangkit dan memutuskan untuk bekerja. Masalahnya adalah di mana ia harus menitipkan anaknya, yang kini sudah hampir 2 tahun, dan tampak amat cantik jelita. Tampaknya tidak ada jalan lain kecuali meninggalkan anak itu disitu dan berharap agar nasib tidak memperburuk keadaan mereka. Suatu pagi ia berpesan pada anak gadisnya, agar ia tidak kemana-mana, tidak ikut siapapun yang mengajaknya pergi atau menawarkan gula-gula. Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh berhubungan dengan siapapun selama ibunya tidak ditempat. “Dalam beberapa hari mama akan mendapatkan cukup uang untuk menyewa kamar kecil yang berpintu, dan kita tidak lagi tidur dengan angin di rambut
kita”.

Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan penuh kesungguhan. Maka sang ibu mengatur kotak kardus dimana mereka tinggal selama 7 bulan agar tampak kosong, dan membaringkan anaknya dengan hati-hati di dalamnya. Di sebelahnya ia meletakkan sepotong roti. Kemudian, dengan mata basah ibu itu menuju kepabrik sepatu, di mana ia bekerja sebagai pemotong kulit. Begitulah kehidupan mereka selama beberapa hari, hingga di kantong sang Ibu kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu di daerah kumuh. Dengan suka cita ia menuju ke penginapan orang-orang miskin itu, dan membayar uang muka sewa kamarnya.

Tapi siang itu juga sepasang suami istri pengemis yang moralnya amat rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa, dan membawanya sejauh 300 kilometer ke pusat kota. Di situ mereka mendandani gadis cilik itu dengan baju baru, membedaki wajahnya, menyisir rambutnya dan membawanya ke sebuah rumah mewah dipusat kota. Di situ gadis cilik itu dijual. Pembelinya adalah pasangan suami istri dokter yang kaya, yang tidak pernah bisa punya anak sendiri walaupun mereka telah menikah selama 18 tahun. Mereka memberi nama anak gadis itu Serrafona, dan mereka memanjakannya dengan amat sangat. Di tengah-tengah kemewahan istana itulah gadis kecil itu tumbuh dewasa.

Ia belajar kebiasaan-kebiasaan orang terpelajar seperti merangkai bunga, menulis puisi dan bermain piano. Ia bergabung dengan kalangan-kalangan kelas atas, dan mengendarai Mercedes Benz kemanapun ia pergi. Satu hal yang baru terjadi menyusul hal lainnya, dan bumi terus berputar tanpa kenal istirahat.

Pada umurnya yang ke-24, Serrafona dikenal sebagai anak gadis Gubernur yang amat jelita, yang pandai bermain piano, yang aktif di gereja, dan yang sedang menyelesaikan gelar dokternya. Ia adalah figure gadis yang menjadi impian tiap pemuda, tapi cintanya direbut oleh seorang dokter muda yang welas asih, yang bernama Geraldo. Setahun setelah perkawinan mereka, ayahnya wafat, dan Serrafona beserta suaminya mewarisi beberapa perusahaan dan sebuah real-estate sebesar 14 hektar yang diisi dengan taman bunga dan istana yang paling megah di kota itu. Menjelang hari ulang tahunnya yang ke-27, sesuatu terjadi yang merubah kehidupan wanita itu.

Pagi itu Serrafona sedang membersihkan kamar mendiang ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai lagi, dan di laci meja kerja ayahnya ia melihat selembar foto seorang anak bayi yang digendong sepasang suami istri. Selimut yang dipakai untuk menggendong bayi itu lusuh, dan bayi itu sendiri tampak tidak terurus, karena walaupun wajahnya dilapisi bedak tetapi rambutnya tetap kusam. Sesuatu ditelinga kiri bayi itu membuat jantungnya berdegup kencang. Ia mengambil kaca pembesar dan mengkonsentrasikan pandangannya pada telinga kiri itu. Kemudian ia membuka lemarinya sendiri, dan mengeluarkan sebuah kotak kayu mahoni. Di dalam kotak yang berukiran indah itu dia menyimpan seluruh barang-barang pribadinya, dari kalung-kalung berlian hingga surat-surat pribadi.

Tapi diantara benda-benda mewah itu terdapat sesuatu terbungkus kapas kecil, sebentuk anting-anting melingkar yang amat sederhana, ringan dan bukan emas murni. Ibunya almarhum memberinya benda itu sambil berpesan untuk tidak kehilangan benda itu. Ia sempat bertanya, kalau itu anting-anting, dimana satunya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya. Serrafona menaruh anting-anting itu didekat foto. Sekali lagi ia mengerahkan seluruh kemampuan melihatnya dan perlahan-lahan air matanya berlinang.

Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa bayi itu adalah dirinya sendiri. Tapi kedua pria wanita yang menggendongnya, yang tersenyum dibuat-buat, belum penah dilihatnya sama sekali. Foto itu seolah membuka pintu lebar-lebar pada ruangan yang selama ini mengungkungi pertanyaan - pertanyaannya, misalnya: kenapa bentuk wajahnya berbeda dengan wajah kedua orang tuanya, kenapa ia tidak menuruni golongan darah ayahnya.

Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat abad terpendam, berkilat di benaknya, bayangan seorang wanita membelai kepalanya dan mendekapnya di dada. Di ruangan itu mendadak Serrafona merasakan betapa dinginnya sekelilingnya tetapi ia juga merasa betapa hangatnya kasih sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu. Ia seolah merasakan dan mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah lebih baik mereka mati bersama. Matanya basah ketika ia keluar dari kamar dan menghampiri suaminya yang sedang membaca koran: “Geraldo, saya adalah anak seorang pengemis, dan mungkinkah ibu saya masih ada di jalan sekarang setelah 25 tahun?” Itu adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa lalu Serrafonna.

Foto hitam-putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu lembar dan disebar ke seluruh jaringan kepolisian diseluruh negeri. Sebagai anak satu-satunya dari bekas pejabat yang cukup berpengaruh di kota itu, Serrafonna mendapatkan dukungan dari seluruh kantor kearsipan, kantor surat kabar dan kantor catatan sipil. Ia membentuk yayasan-yayasan untuk mendapatkan data dari seluruh panti-panti orang jompo dan badan-badan sosial di seluruh negeri dan mencari data tentang seorang wanita.

Bulan demi bulan lewat, tapi tak ada perkembangan apapun dari usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis 25 tahun yang lalu di negeri dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah. Tapi Serrafona tidak punya pikiran untuk menyerah. Dibantu suaminya yang begitu penuh pengertian, mereka terus menerus meningkatkan pencarian mereka. Kini, tiap kali bermobil, mereka sengaja memilih daerah-daerah kumuh, sekedar untuk lebih akrab dengan nasib baik. Terkadang ia berharap agar ibunya sudah almarhum sehingga ia tidak terlalu menanggung dosa mengabaikannya selama seperempat abad. Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan sedang menantinya sekarang. Ia memberitahu suaminya keyakinan itu berkali-kali, dan suaminya mengangguk-angguk penuh pengertian.

Pagi, siang dan sore ia berdoa: “Tuhan, ijinkan saya untuk satu permintaan terbesar dalam hidup saya: temukan saya dengan ibu saya”. Tuhan mendengarkan doa itu. Suatu sore mereka menerima kabar bahwa ada seorang wanita yang mungkin bisa membantu mereka menemukan ibunya. Tanpa membuang waktu, mereka terbang ke tempat itu, sebuah rumah kumuh di daerah lampu merah, 600 km dari kota mereka. Sekali melihat, mereka tahu bahwa wanita yang separoh buta itu, yang kini terbaring sekarat, adalah wanita di dalam foto. Dengan suara putus-putus, wanita itu mengakui bahwa ia memang pernah mencuri seorang gadis kecil ditepi jalan, sekitar 25 tahun yang lalu. Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan ia masih ingat kota dan bahkan potongan jalan dimana ia mengincar gadis kecil itu dan kemudian menculiknya. Serrafona memberi anak perempuan yang menjaga wanita itu sejumlah uang, dan malam itu juga mereka mengunjungi kota dimana Serrafonna diculik.

Mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan mengerahkan orang-orang mereka untuk mencari nama jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa tidur. Untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa
ibunya masih hidup sekarang, dan sedang menunggunya, dan ia tetap tidak tahu jawabannya.

Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul 18:00 senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staff mereka. “Tuhan maha kasih, Nyonya, kalau memang Tuhan mengijinkan, kami mungkin telah menemukan ibu Nyonya. Hanya cepat sedikit, waktunya mungkin tidak banyak lagi.” Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi, dipinggiran kota yang kumuh dan banyak angin. Rumah-rumah di sepanjang jalan itu tua-tua dan kusam. Satu, dua anak kecil tanpa baju bermain-main ditepi jalan. Dari jalanan pertama, mobil berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil , kemudian masih belok lagi kejalanan berikutnya yang lebih kecil lagi. Semakin lama mereka masuk dalam lingkungan yang semakin menunjukkan kemiskinan.

Tubuh Serrrafona gemetar, ia seolah bisa mendengar panggilan itu. “Lekas, Serrafonna, mama menunggumu, sayang”. Ia mulai berdoa “Tuhan, beri saya setahun untuk melayani mama. Saya akan melakukan apa saja”. Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat, ia berdoa: “Tuhan beri saya sebulan saja”. Mobil belok lagi kejalanan yang lebih kecil, dan angin yang penuh derita bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang terbuka. Ia mendengar lagi panggilan mamanya, dan ia mulai menangis: “Tuhan, kalau sebulan terlalu banyak, cukup beri kami seminggu untuk saling memanjakan”.

Ketika mereka masuk belokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu hebat sehingga Geraldo memeluknya erat-erat. Jalan itu bernama Los Felidas. Panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan yang tampak dari sisi ke sisi, dari ujung keujung. Di tengah-tengah jalan itu, di depan puing - puing sebuah toko, tampak onggokan sampah dan kantong - kantong plastik, dan ditengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua dengan pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak-gerak. Mobil mereka berhenti diantara 4 mobil mewah lainnya dan 3 mobil polisi. Di belakang mereka sebuah ambulans berhenti, diikuti empat mobil rumah sakit lain. Dari kanan kiri muncul pengemis-pengemis yang segera memenuhi tempat itu. “Belum bergerak dari tadi.” Lapor salah seorang. Pandangan Serrafona gelap tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih kesadarannya dan turun. Suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar, memburu ibu mertuanya. “Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi kau harus menguatkan hatimu.”

Serrafona memandang tembok dihadapannya, dan ingat saat ia menyandarkan kepalanya ke situ. Ia memandang lantai di kakinya dan ingat ketika ia belajar berjalan. Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi mengingatkannya pada masa kecilnya. Air matanya mengalir keluar ketika ia melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan wanita yang terbaring itu dan memberinya isyarat untuk mendekat. “Tuhan”, ia meminta dengan seluruh jiwa raganya, “beri kami sehari, Tuhan, biarlah saya membiarkan mama mendekap saya dan memberitahunya bahwa selama 25 tahun ini hidup saya amat bahagia. Jadi mama tidak menyia-nyiakan saya”. Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu kedadanya. Wanita tua itu perlahan membuka matanya dan memandang keliling, ke arah kerumunan orang-orang berbaju mewah dan perlente, ke arah mobil-mobil yang mengkilat dan ke arah wajah penuh air mata yang tampak seperti wajahnya sendiri ketika ia masih muda. “Mama….”, ia mendengar suara itu, dan ia tahu bahwa apa yang ditunggunya tiap malam - antara waras dan tidak - dan tiap hari - antara sadar dan tidak - kini menjadi kenyataan. Ia tersenyum, dan dengan seluruh kekuatannya menarik lagi jiwanya yang akan lepas. Perlahan ia membuka genggaman tangannya, tampak sebentuk anting-anting yang sudah menghitam.

Serrafona mengangguk, dan tanpa perduli sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan kepalanya di dada mamanya. “Mama, saya tinggal di istana dan makan enak tiap hari. Mama jangan pergi dulu. Apapun yang mama mau bisa kita lakukan bersama-sama. Mama ingin makan, ingin tidur, ingin bertamasya, apapun bisa kita bicarakan. Mama jangan pergi dulu… Mama…” Ketika telinganya menangkap detak jantung yang melemah, ia berdoa lagi kepada Tuhan: “Tuhan maha pengasih dan pemberi, Tuhan….. satu jam saja…. …satu jam saja…..” Tapi dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja dan puluhan orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan bahwa penantiannya selama seperempat abad tidak berakhir sia-sia

My Imagine,My Life,My Hope And This Is My Blog